Minggu, 03 November 2013

Suku Asmat - Papua - Indonesia


Nama Asmat dikenal dunia sejak tahun 1904. Tercatat pada tahun 1770 sebuah kapal yang dinahkodai James Cook mendarat di sebuh teluk di daerah Asmat. Tiba-tiba muncul puluhan perahu lesung panjang didayungi ratusan laki-laki berkulit gelap dengan wajah dan tubuh yang diolesi warna-warna merah, hitam, dan putih. Mereka ini menyerang dan berhasil melukai serta membunuh beberapa anak buah James Cook. Berabad-abad kemudian pada tepatnya tanggal 10 Oktober 1904, Kapal SS Flamingo mendarat di suatu teluk di pesisir barat daya Irian jaya. Terulang peristiwa yang dialami oleh James Cook dan anak buahnya. Mereka didatangi oleh ratusan pendayung perahu lesung panjang berkulit gelap tersebut. Namun, kali ini tidak terjadi kontak berdarah. Sebaliknya terjadi komunikasi yang menyenangkan di antara kedua pihak. Dengan menggunakan bahasa isyarat, mereka berhasil melakukan pertukaran barang.
Sejak itu, orang mulai berdatangan ke daerah yang kemudian dikenal dengan daerah Asmat itu. Ekspedisi-ekspedisi yang pernah dilakukan di daerah ini antara lain ekspedisi yang dilakukan oleh seseorang berkebangsaan Belanda bernama Hendrik A. Lorentz pada tahun 1907 hingga 1909. Kemudian ekspedisi Inggris dipimpin oleh A.F.R Wollaston pada tahun 1912 sampai 1913.


Suku Asmat yang tersebar di pedalaman hutan-hutan dikumpulkan dan ditempatkan di perkampungan-perkampungan yang mudah dijangkau. Biasanya kampung-kampung tersebut didirikan di dekat pantai atau sepanjang tepi sungai. Dengan demikian hubungan langsung dengan Suku Asmat dapat berlangsung dengan baik. Dewasa ini, sekolah-sekolah, PUSKESMAS (Pusat Kesehatan Masyarakat) dan rumah-rumah ibadah telah banyak juga didirikan peemrintah dalam rangka menunjang pembangunan daerah dan masayarakat Asmat.
  • Asal Usul Suku Asmat
Menurut Pastor Zegwaard, seorang misionaris Katolik berbangsa Belanda, orang-orang Asmat mempercayai bahwa mereka berasal dari Fumeripits (Sang Pencipta). Konon, Fumeripits terdampar di pantai dalam keadaan sekarat dan tidak sadarkan diri. Namun nyawanya diselamatkan oleh sekolompok burung sehingga ia kembali pulih. Kemudian ia hidup sendirian di sebeuah daerah yang baru. Karena kesepian, ia membangun sebuah rumah panjang yang diisi dengan patung-patung dari kayu hasil ukirannya sendiri. Namun ia masih merasa kesepian, kemudian ia membuat sebuah tifa yang ditabuhnya setiap hari.
Tiba-tiba, bergeraklah patung-patung kayu yang sudah dibuatnya tersebut mengikuti irama tifa yang dimainkan. Sungguh ajaib, patung-patung itu pun kemudian berubah menjadi wujud manusia yang hidup. Mereka menari-nari mengikuti irama tabuhan tifa dengan kedua kaku agak terbuka dan kedua lutut bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan. Semenjak itu, Fumeripits terus mengembara dan di setiap daerah yang disinggahinya, ia membangun rumah panjang dan menciptakan manusia-manusia baru yang kemudian menjadi orang-orang Asmat seperti saat ini. Bentuk tubuh orang Asmat berbeda dengan penduduk lainnya yang berdiam di pegunungan tengah atau di nagian pantai lainnya.

Baca Juga : Tempat Wisata Di Madiun Terbaru Yang Sangat Direkomendasikan

Tinggi badan kaum laki-laki antara 1,67 hingga 1,72 meter, sedangkan kaum perempuan tingginya antara 1,60 hingga 1,65 meter. Ciri-ciri bagian tubuh lainnya adalah bentuk kepala yang lonjong (dolichocephalic), bibir tipis, hidung mancung, dan kulit hitam. Orang Asmat pada umumnya tidak banyak menggunakan kaki untuk berjalan jauh, oleh karena itu betis mereka terlihat menjadi kecil. Namun, setiap saat mereka mendayung dengan posisi berdiri sehingga otot-otot tangan dan dadanya tampak terlihat tegap dan kuat. Tubuh kaum perempuan kelihatan kurus karena banyaknya perkerjaan yang harus mereka lakukan.
Suku Asmat berdiam di daerah-daerah yang sangat terpencil dan daerah tersebut masih merupakan alam yang ganas (liar). Mereka tinggal di pesisir barat daya Irian jaya (Papua). Mulanya, orang Asmat ini tinggal di wilayah administratif Kabupaten Merauke, yang kemudian terbagi atas 4 kecamatan, yaitu Sarwa-Erma, Agats, Ats, dan Pirimapun. (Saat ini Asmat telah masuk ke dalam kabupaten baru, yaitu kabupaten Asmat.
Jumlah penduduk di daeah Asmat tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan pada tahun 2000 ada kurang lebih 70.000 jiwa, 9.000 di antaranya bermukim di Kecamatan Pirimapun. Pertambahan penduduk sangat pesat, berkisar antara 28 samapi 84 jiwa setiap 1.000 orang.

Secara keseluruhan, angka kelahiran di pedalaman adalah 13 persen, di pesisir 9 persen. Angka kematian pun cukup tinggi, yaitu berksiar antara 21 sampai 45 jiwa tiap 1.000 orang. Pada jaman dahulu, rata-rata dua setengah persen kematian orang Asmat disebabkan oleh peperangan antar kelompok atau antar desa. Seiring berkembangnya jaman, saat ini penyebab kematian anak-anak dan bayi, terutama pada bulan-bulan pertama banyak disebabkan oleh pneumonia, diare, malaria, dan penyakit campak.
Perkampungan orang Asmat yang jumlahnya tidak kurang dari 120 buah tersebar dengan jarak yang saling berjauhan. Kampung mereka didirikan dengan pola memanjang di tepi-tepi sungai dan dibangun sedemikian rupa sehingga mudah mengamati musuh. Sedikitnya ada 3 kategori kampung bila dilihat dari jumlah warganya. Kampung besar, yang umumnya terletak di bagian tengah, dihuni oleh sekitar 500-1000 jiwa. Kampung di daerah pantai, rata-rata dihuni oleh sekitar 100-500 jiwa. Kampung di bagian hulu sungai, jumlah warganya lebih kecil , berpenduduk sekitar 50-90 jiwa.
Suku Asmat mempunyai kebiasaan dan adat istiadat yang khas diantaranya membuat ukiran tanpa ada sketsa dulu. Ukiran-ukiran yang dibuat oleh orang Asmat memiliki makna sebagai persembahan atau ucapan rasa syukur kepada nenek moyang. Mengukir adalah jalan untuk berinteraksi dengan leluluhur. Pesta Bis, Pesta Perah, Pesta Ulat Sagu dan pesta Topeng sebagai bentuk upaya menghindarkan diri dari musibah dan marabahaya. Selain itu, Suku Asmat juga suka berhias.

Galeri Gambar

Budaya Terkait






readmore »»  

Suku Dayak Kalimantan - Indonesia


blog-apa-aja.blogspot.com

Kata Dayak berasal dari kata "Daya" yang artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat.

Ada pelbagai pendapat tentang asal-usul orang Dayak, tetapi setakat ini belum ada yang betul-betul memuaskan। Namun, pendapat yang diterima umum menyatakan bahawa orang Dayak ialah salah satu kelompok asli terbesar dan tertua yang mendiami pulau Kalimantan (Tjilik Riwut 1993: 231)। Gagasan tentang penduduk asli ini didasarkan pada teori migrasi penduduk ke Kalimantan। Bertolak dari pendapat itu adalah dipercayai bahawa nenek moyang orang Dayak berasal dari China Selatan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Mikhail Coomans (1987: 3):



Semua suku bangsa Daya termasuk pada kelompok yang bermigrasi secara besar-besaran dari daratan Asia. Suku bangsa Daya merupakan keturunan daripada imigran yang berasal dari wilayah yang kini disebut Yunnan di Cina Selatan. Dari tempat itulah kelompok kecil mengembara melalui Indo China ke jazirah Malaysia yang menjadi loncatan untuk memasuki pulau-pulau di Indonesia, selain itu, mungkin ada kelompok yang memilih batu loncatan lain, yakni melalui Hainan, Taiwan dan Filipina. Perpindahan itu tidak begitu sulit, kerana pada zaman glazial (zaman es) permukaan laut sangat turun (surut), sehingga dengan perahu-perahu kecil sekalipun mereka dapat menyeberangi perairan yang memisahkan pulau-pulau itu.

Orang-orang Dayak ialah penduduk pulau Kalimantan yang sejati, dahulu mereka ini mendiami pulau Kalimantan, baikpun pantai-pantai baikpun sebelah ke darat। Akan tetapi tatkala orang Melayu dari Sumatera dan Tanah Semenanjung Melaka datang ke situ terdesaklah orang Dayak itu lalu mundur, bertambah lama, bertambah jauh ke sebelah darat pulau Kalimantan

Baca Juga : Tempat Wisata Di Madiun Terbaru Yang Sangat Direkomendasikan

Teori tentang migrasi ini sekaligus boleh menjawab persoalan: mengapa suku bangsa Dayak kini mempunyai begitu banyak sifat yang berbeza, sama ada dalam bahasa maupun dalam ciri-ciri budaya mereka

Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, iaitu Kenyah-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Murut, Klemantan dan Punan। Keenam rumpun ini terbagi lagi kepada lebih kurang 405 sub suku. Meskipun terbagi kepada ratusan sub suku, kelompok suku Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas। Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu salah suatu sub suku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak। Ciri-ciri tersebut ialah rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit beliong (kapak Dayak) pandangan terhadap alam, mata pencarian (sistem perladangan) dan seni tari.

blog-apa-aja.blogspot.com

Kalimantan adalah salah satu dari 5 pulau besar yang ada di Indonesia. Sebenarnya pulau ini tidak hanya merupakan "daerah asal" orang Dayak semata karena di sana ada orang Banjar (Kalimantan Selatan) dan orang Melayu. Dan, di kalangan orang Dayak sendiri satu dengan lainnya menumbuh-kembangkan kebudayaan tersendiri. Dengan perkataan lain, kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan oleh Dayak-Iban tidak sama persis dengan kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan Dayak-Punan dan seterusnya. Namun demikian, satu dengan lainnya mengenal atau memiliki senjata khas Dayak yang disebut sebagai mandau. Dalam kehidupan sehari-hari senjata ini tidak lepas dari pemiliknya. Artinya, kemanapun ia pergi mandau selalu dibawanya karena mandau juga berfungsi sebagai simbol seseorang (kehormatan dan jatidiri). Sebagai catatan, dahulu mandau dianggap memiliki unsur magis dan hanya digunakan dalam acara ritual tertentu seperti: perang, pengayauan, perlengkapan tarian adat, dan perlengkapan upacara. Mandau dipercayai memiliki tingkat-tingkat kampuhan atau kesaktian. Kekuatan saktinya itu tidak hanya diperoleh dari proses pembuatannya yang melalui ritual-ritual tertentu, tetapi juga dalam tradisi pengayauan (pemenggalan kepala lawan). Ketika itu (sebelum abad ke-20) semakin banyak orang yang berhasil di-kayau, maka mandau yang digunakannya semakin sakti. Biasanya sebagian rambutnya sebagian digunakan untuk menghias gagangnya. Mereka percaya bahwa orang yang mati karena di-kayau, maka rohnya akan mendiami mandau sehingga mandau tersebut menjadi sakti. Namun, saat ini fungsi mandau sudah berubah, yaitu sebagai benda seni dan budaya, cinderamata, barang koleksi serta senjata untuk berburu, memangkas semak belukar dan bertani.

Bagian Mandau

1. Bilah Mandau
Bilah mandau terbuat dari lempengan besi yang ditempa hingga berbentuk pipih-panjang seperti parang dan berujung runcing (menyerupai paruh yang bagian atasnya berlekuk datar). Salah satu sisi mata bilahnya diasah tajam, sedangkan sisi lainnya dibiarkan sedikit tebal dan tumpul. Ada beberapa jenis bahan yang dapat digunakan untuk membuat mandau, yaitu: besi montallat, besi matikei, dan besi baja yang diambil dari per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan, dan lain sebagainya. Konon, mandau yang paling baik mutunya adalah yang dibuat dari batu gunung yang dilebur khusus sehingga besinya sangat kuat dan tajam serta hiasannya diberi sentuhan emas, perak, atau tembaga. Mandau jenis ini hanya dibuat oleh orang-orang tertentu. Pembuatan bilah mandau diawali dengan membuat bara api di dalam sebuah tungku untuk memuaikan besi. Kayu yang digunakan untuk membuat bara api adalah kayu ulin. Jenis kayu ini dipilih karena dapat menghasilkan panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kayu lainnya. Setelah kayu menjadi bara, maka besi yang akan dijadikan bilah mandau ditaruh diatasnya agar memuai. Kemudian, ditempa dengan menggunakan palu. Penempaan dilakukan secara berulang-ulang hingga mendapatkan bentuk bilah mandau yang diinginkan. Setelah bilah terbentuk, tahap selanjutnya adalah membuat hiasan berupa lekukan dan gerigi pada mata mandau serta lubang-lubang pada bilah mandau. Konon, pada zaman dahulu banyaknya lubang pada sebuah mandau mewakili banyaknya korban yang pernah kena tebas mandau tersebut. Cara membuat hiasan sama dengan cara membuat bilah mandau, yaitu memuaikan dan menempanya dengan palu berulang-ulang hingga mendapatkan bentuk yang diinginkan. Setelah itu, barulah bilah mandau dihaluskan dengan menggunakan gerinda.

2. Gagang (Hulu Mandau)
Gagang (hulu mandau) terbuat dari tanduk rusa yang diukir menyerupai kepala burung. Seluruh permukaan gagangnya diukir dengan berbagai motif seperti: kepala naga, paruh burung, pilin, dan kait. Pada ujung gagang ada pula yang diberi hiasan berupa bulu binatang atau rambut manusia. Bentuk dan ukiran pada gagang mandau ini dapat membedakan tempat asal mandau dibuat, suku, serta status sosial pemiliknya.

3. Sarung Mandau.
Sarung mandau (kumpang) biasanya terbuat dari lempengan kayu tipis. Bagian atas dilapisi tulang berbentuk gelang. Bagian tengah dan bawah dililit dengan anyaman rotan sebagai penguat apitan. Sebagai hiasan, biasanya ditempatkan bulu burung baliang, burung tanyaku, manik-manik dan terkadang juga diselipkan jimat. Selain itu, mandau juga dilengkapi dengan sebilah pisau kecil bersarung kulit yang diikat menempel pada sisi sarung dan tali pinggang dari anyaman rotan. Nilai Budaya Pembuatan mandau, jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Nilai keindahan tercermin dari bentuk-bentuk mandau yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah mandau yang indah dan sarat makna.

blog-apa-aja.blogspot.com

Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok yang tinggal di pedalaman, di gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke Kalimantan. Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan memakai nama Dayak, sebab lebih diartikan agak negatif. Padahal, semboyan orang Dayak adalah "Menteng Ueh Mamut", yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak kenal menyerah atau pantang mundur.

ASAL MULA

Pada tahun (1977-1978) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan "Muller-Schwaner". Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.

Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda.

Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut "Nansarunai Usak Jawa", yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).

Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Maanyan atau Ot Danum)

Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.

Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.

Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)

Dibawah ini ada beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan.

Upacara Tiwah
Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia.

Upacara Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).

Dunia Supranatural
Dunia Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.

Mangkok merah. Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. Panglima" atau sering suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.

Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima tersebut ber Tariu" ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.

Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti.

Mangkok merah terbuat dari teras bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang didesain dalam bentuk bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan bisa diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan kain merah.

Menurut cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun 1967. pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia.

Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak itu diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan Palangka Bulau" ( Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan Ancak atau Kalangkang" ).
readmore »»  

Sabtu, 02 November 2013

Manusia Tertinggi di Dunia Akhirnya Menikah


 
Sultan Kosen, the tallest man in the world (2.50 meters), desperate to find a soul mate that matches the size. Men giant soft-hearted it was said, was almost a miracle that he has finally met her match as Merve Dibo.

Although there are differences in height by 82 centimeters, Kosen (30) celebrate the biggest day of her life, Saturday (10/26/2013), while tying the knot with his bride of 20 years old in Turkey, where it came from.

Before meeting Dibo, Kosen has revealed the difficulty to find a partner. Because most women recoil at the sight of his towering size.
However, last Saturday, a part-time farmer, who had booked a special suit and shoes size 28 for her wedding, said he was happy to have found her lover. He added, "What a pity that I could not find a girl that fits my size. But now, I would have his own family and personal life."


Kosen, who is one of the 10 people who never have a height of over 8 feet (or 2.44 meters), suffered from a rare disorder called pituitary gigantism , which causes the body continues to produce growth hormone. It happened to him since the age of 10 years, and became the highest in the world in 2009, until it finally stopped growing in 2011.

However, the record for tallest man ever held by Robert Wadlow from Illinois, USA, who died in 1940. The recorded Wadlow has a height of 2.7 meters.
readmore »»  

Minggu, 22 September 2013

Sejarah Suku Pagai Utara-Pagai Selatan



Pada zaman dahulu kala, Pagai Utara dan Pagai Selatan merupakan satu pulau. Pada pertengahan pulau itu berdiri sebuah bukit kecil yang ditumbuhi rimba belantara yang angker dan sangat mengerikan bagi penduduk setempat. Dalam hutan rimba yang lebat itu bersemayam seekor burung elang hitam yang sangat galak lagi buas dan sangat menakutkan. Burung elang itu disebut si Manyang, bersarang di atas sebuah pohon raksasa yang tumbuh di bukit kecil itu.
Menurut kepercayaan orang Mentawai, burung itu pembawa malapetaka bagi masyarakat penghuni Pulau Pagai. Burung itu setiap hari terbang melayang-layang dari kampung ke kampung mencari bayi untuk dijadikan mangsanya. Mangsanya itu digunggung dan dibawa terbang hidup-hidup untuk dilahapnya di puncak bukit yang sunyi itu dimana ia bersarang.
Gangguan itu sangat berbahaya dan sangat menyusahkan penduduk, karena bisa mengancam perkembangan penduduk dan kelanjutan keturunannya.

Pada mulanya penduduk sama sekali tidak mengetahui bahwa hilang-lenyapnya bayi-bayi itu akibat keserakahan si Manyang. Kaum ibu berkabung dan merasa sedih atas kehilangan anak-anaknya secara tiba-tiba. Kejadian itu menjadi buah bibir dan merupakan teka-teki misterius.
Kaum lelaki mulai mengadakan musyawarah, mencari akal bagaimana mengatasi situasi amat gawat itu. Mereka sepakat dan bertekat bulat mencari pencuri bayi-bayi itu. Berhari-hari mereka masuk dan keluar hutan siap dengan busur dan anak panahnya. Akan tetapi usaha mereka yang sudah berminggu-minggu itu tidak memperoleh hasil. Hati mereka semakin kecut, cemas, kecewa dan nyaris putus asa. Tetapi pada suatu hari mereka menemukan jalan setapak yang menghantarkan mereka ke puncak bukit kecil itu. Di sana, mereka menemukan tulang belulang anak manusia yang berserakan di bawah sebuah pohon raksasa. Tahulah mereka sekarang, bahwa di atas pohon besar itu bersarang si Manyang yang telah memangsai anak-anak mereka selama ini.

Pohon itu harus ditebang, supaya burung jahanam itu jangan lagi bersarang dan segera enyah dari Pagai. Usaha penebangan mulai dilakukan. Waktu yang tepat harus di malam hari. Pada malam pertama, hasil kerja mereka sangat mengecewakan. Pohon itu sangat keras dan liat. Malam berikutnya, dilakukan lagi penebangan. Aneh sekali dan sangat mengherankan, ternyata keesokan harinya bagian yang telah ditetak, kembali seperti keadaan semula. Pohon raksasa itu utuh kembali seolah-olah punya kesaktian dan kekebalan. Namun keadaan ini tidak melumpuhkan semangat mereka, bahkan membuat hati mereka semakin kuat untuk menumbangkan pohon tersebut. Mereka telah berketetapan hati untuk menumbangkannya dalam waktu satu malam saja. Oleh sebab itu, kerja mereka harus lebih intensif dan berkesinambungan tanpa henti dan mengenal lelah.

Setelah semalam suntuk bekerja keras membanting tulang, berhasillah usaha mereka. Pagi harinya, ketika fajar merekah, tumbanglah pohon raksasa itu dengan dahsyatnya. Pohon itu rebah membelintang ke sebelah barat membagi Pulau Pagai menjadi dua bagian. Begitu besar dan beratnya pohon itu, sehingga tanah yang ditimpanya terbelah dan air lautpun naik mengenangi daratan.
Terjadilah sebuah selat yang membagi dua Pulau Pagai, yaitu Pagai Utara dan Pagai Selatan. Bukit dimana pohon raksasa itu tumbuh menjelma menjadi sebuah pulau kecil di depan selat di timur. Bukit kecil itu dikenal dengan nama Bakat Minuang dan selat itu bernama Selat Sikakap.
readmore »»  

Minggu, 15 September 2013

Suku Talang Mamak - Jambi - Sumatera - Indonesia



Suku Talang Mamak adalah Suku pedalaman di daerah Jambi. Suku ini tersebar di 4 kecamatan yaitu Batang Gansal, Cenaku,


kelayang dan Rengat Barat Kabupaten Indragiri Hulu dan di Dusun Semarantahin, Desa Suo-Suo Kecamatan Sumai, Kabupaten Tebo. Talang memiliki arti Ladang dan mamak itu adalah Ibu. Secara umum Talang Mamak memiliki arti ladang milik ibu.

Masyarakat Talang Mamak merupakan golongan proto Melayu atau melayu kuno. Suku Talang Mamak biasa di sebut “Suku Tuha”. Mereka adalah suku yang datang pertama di Indragiri dan berhak atas sumber daya. Pada tahun 200, jumlah masyarakat Talang Mamak sekitar 6418 jiwa.
 --> -->

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgIph29QxCzWho_jtyAHZf8nimAvIJBtpjC_yZK9whNz5Ezn2U3G7JOxOpB-FmWFJcKItm1CEFa7Gnl9kTGzowODl_ErmiXizYgQCIRY0Jso-epqWpcDSNk11UCui7UfXwCxHBbi_95k5g/s400/Bukit+3o+peta.jpg              Sejarah asal usul masyarakat Talang Mamak lahir dari cerita rakyat tentang Putri Pinang Masak. Konon, hidup tujuh pasang putra-putri yang lahir kembar di Indragiri. Ketujuh putra menjadi sesosok yang gagah berani dan ketujuh putri menjadi gadi jelita dan cantik. Salah satu putri yang cantik adalah Putri Pinang Masak.

Dalam segi kepercayaan, mayoritas suku Talang Mamak masih memeluk agama kepercayaan yaitu Animisme. Ada pula yang sudah beragama lainnya seperti Islam dan Kristen. Agama kepercayaan yang dianut oleh masyarakat talang Mamak disebut Langkah lama. Ada lima kebiasaaan adat dalam agama ini yaitu sunat dan mengasah gigi, menyabung ayam, berjudi, berdukun bekumantan, mengadakan pesemahan (pemujaan kuburan keramat dengan mengorbankan hewan).

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Talang Mamak masih mempertahankan tradisi adat seperti ranbut panjang, memakai sorban, giginya bergarang (hitam karena menginang). Selain itu, masyarakat Talang Mamak memiliki sifat sopan, jujur dan tidak mau mengganggu orang lain, bahkan untuk menghindari konflik masyarakat talang Mamak lebih baik menghindar. Untuk urusan yang berhubungan dengan alam, masyarakat Talang Mamak hidup damai dan menyatu dengan alam. Kondisi itu juga dipengaruhi oleh kehidupan masyarakat Talang Mamak yang bergantung pada hutan.
Pada daerah di Dusun Kerampal, masyarakat dari Suku Talang Mamak yang tinggal disana masih tergantung pada tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitarnya dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari, khususnya bahan obat.
Berdasarkan sejarah Masyarakat Talang Mamak, ada dua kelompok dalam suku ini yaitu Talang Mamak Sungai Limau yang bertempat tinggal di daerah alir sungai Limau dan Sungai Cenaku. Kelompok Talang Mamak Sungai Gangsal yang bertempat tinggal di daerah aliran Sungai Gangsal dan sungai akar di lingkungan pegunungan bukit tiga puluh.
Untuk sistem kekerabatan , masyarakat Talang Mamak menganut sistem Matrilineal. Jabatan seperti batin, penghulu, mangku, monti serta warisan harta pusaka diturunkan kepada anak laki saudara perempuan. Rumah tangga terbentuk dari keluarga inti yang membuat rumah di sekitar tempat tinggal orang tua istri. Dalam segi kepemimpinan masyarakat Talang Mamak Memiliki kepenghuluan yang dipimpin oleh batin atau penghulu adat. Selain itu masyarakat tersebut memiliki pemimpin yang memiliki gelar Datuk Patih.
Bahasa Talang Mamak (serta Bahasa Sakai) termasuk dialek Bahasa Kerinci. Bahasa yang digunakan untuk melakukan komunikasi harian adalah melayu Talang atau melayu tinggi, tidak ada tingkatan bahasa pada komunitas ini. Bahasa ini ada sedikit perbedaan dengan bahasa melayu pada umumnya. Ada beberapa istilah dan sebutan yang berbeda.
Mata pencarian utama masyarakat Talang Mamak adalah menanam padi di ladang beserta menanam sayuran dan palawija. Para lelaki masih melakukan kegiatan berburu, meramu di hutan dan menangkap ikan di sungai. Selain itu, mata pencaharian lainnya jika hasil ladang sudah habis adalah menyadap getah karet. Semua hasil itu akan dijual melalui  seorang perantara untuk dibawa ke produsen yang lebih besar. Kegiatan bertani dilakukan dengan sistem ladang berpindah. dimana mereka masih mempercayakan kekuatan gaib yang kuat dan berpengaruh pada pola perpindahan dan pembukaan ladang serta penentuan hari bercocok tanam.
Masyarakat Talang Mamak memiliki berbagai bentuk Kesenian diantaranya adalah pencak Silat, Tari Badai Terbang, Tari Bulian, dan main Ketebung.  Selain itu, diantaranya adalah berdendang dan bernyanyi, nyanyian dinyanyikan bersama-sama dan sangat tergantung pada situasi (sedih, riang, senang) biasanya disampaikan dalam bentuk pantun. Di tempat lain ada juga tarian Rentak Bulian yang biasa dilakukan secara bersama-sama baik laki-laki maupun perempuan, tetapi tarian ini bukan asli masyarakat talang merupakan tari kresasi. Tarian ini dilakukan ketika ada pesta bagawai (pesta pernikahan) dan dalam rangka pengobatan. Selain itu kesenian di atas, ada juga kesenian pencak silat yang menandai mulai dan mengakhiri kegiatan ritual yang diiringi dengan gendang, main gambus, tari balai terbang.

Dalam kehidupan keseharian suku Talang Mamak sudah mengenal teknologi dalam bentuk yang sederhana terutama yang dipergunakan untuk mengolah pertanian, perkebunan, ladang dan memasak. Dalam mengolah pertanian menggunakan cangkul, beliung (sejenis kampak kecil yang lentur), parang dan pisau (semua berbahan dasar besi). Alat untuk memasak menggunakan kuali, sendok nasi yang terbuat dari kayu dan ujungnya menggunakan batok kelapa. Untuk makan kebanyakan masih menggunakan tangan, walaupun ada juga yang sudah menggunakan sendok. Selain gelas yang digunakan untuk minum, masih banyak yang menggunakan kulit labu air. Masyarakat Talang Mamak pada umumnya bisa menerima pembaharuan dalam penggunaan alat-alat teknologi modern, baik alat rumah tangga, alat telekomunikasi dan trasportasi.                          
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiTpUtDaTRIv1YK8v3ZHKwBW0FyRGr65a0nthnFKmQQ2r07fnxwr8g9xgs4NsrBDRpyelOKiMikQkOoVbB72Jd5z0aovZIOj8DGqqQFUuCWi5XUteOxOU5mH8T3KEdHTezdvW41xq4XADE/s400/di+rumah+panggung+suku+talang+mamak.jpghttp://kebudayaanindonesia.net/media/images/upload/culture/SUKU%20TALANG%20MAMAK,%20JAMBI1.jpg

readmore »»  

Selasa, 30 Juli 2013

SUKU MENTAWAI DI SUMATERA BARAT

SUKU Mentawai adalah sekelompok orang yang tinggal dan menetap di kepulauan Mentawai , Sumatera Barat . herediter, sukuMentawaitinggal di empat pulau besar di kepulauan Mentawai Sibora, Siberut, Pagai Utara dan Pagai Selatan



Secara geografis, pulau-pulau Mentawai menghadapi Hindia.Untuk laut menuju ke kepulauan Mentawai, Anda harus menyeberangi lautan dengan perahu. Jarak dari Padang Mentawai pulau sekitar 100 mil. Selama beberapa generasi, suku Mentawai hidup sederhana dalam Uma. Uma adalah rumah yang terbuat dari kayu. Mentawai arsitektur bangunan rumah berbentuk panggung.
Kesederhanaan hidup suku Mentawai terlihat dari cara mereka berpakaian. Secara umum, pakaian tradisional masih suku Mentawai. Pria masih memakai Mentawai pencopet menutupi tubuh bagian bawah hanya terbuat dari kulit kayu. Sementara tubuh bagian atas dibiarkan telanjang begitu saja tanpa mengenakan sehelai kain. 

Sikerei, tetua di Mentawai masih memakai pencuri . Seperti wanita, untuk menutupi tubuh bagian bawah, mereka menjuntai daun pisang untuk membentuk rok. Sementara untuk tubuh bagian atas, mereka merajut daun rumbia berbentuk seperti berdandan. Jika ada suku Mentawai mengenakan sarung atau pakaian lengkap, hanya ada beberapa orang.


Berikut adalah beberapa foto Eksklusif Suku Mentawai, Sumatera Barat, cekidot !!!!
- & Gt;


Diambil 1900-1940an
Suku Mentawai yang tinggal suku kuno di kepulauan Mentawai.
sebagian Sumatera barat dan utara.


Asal-usul kontroversial dari suku membuat suku misterius.
mempertimbangkan termasuk Polinesia mempertimbangkan proto-Melayu ras (orang tua Melayu).




Tempat terpencil dipisahkan dari era Pleistosen karena naiknya permukaan air laut membuat budaya yang berbeda dengan suku2 terdekatnya ..
Suami bbrpa foto Dari joey lawrence, fotografer dr US yg bikin covernya Film twilight jg ..








Nah, karena masuknya orang luar dan disegel dengan waktu
Suku Mentawai telah di generasi terakhir.
karena anak-anak mereka tidak mengikuti budaya tradisional lagi.
jadi sekarang generasi ayah kmgkinan adalah generasi terakhir.

Ayah foto dengan anak-anak mereka sudah ... memiliki pengaruh budaya yang sangat berbeda di luar diakbatkan








readmore »»  

Rabu, 12 Juni 2013

Suku Anak Dalam-Jambi-Sumatera

Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu suku Sumatra, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Mereka

bangsa minoritas yang hidup di Pulau
mayoritas hidup di propinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 orang.

Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang m lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan suku Minangkabau, seperti sistem matrilineal.

Secara garis besar di Jambi mereka hidup di 3 wilayah ekologis yang berbeda, yaitu Orang Kubu yang di utara Provinsi Jambi (sekitaran Taman Nasional Bukit 30), Taman Nasional Bukit 12, dan wilayah selatan Provinsi Jambi (sepanjang jalan lintas Sumatra). Mereka hidup secara nomaden dan mendasarkan hidupnya pada

berburu dan meramu, walaupun banyak dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya.

Kehidupan mereka sangat mengenaskan seiring dengan hilangnya sumber daya hutan yang ada di Jambi dan Sumatera Selatan, dan proses-proses marginalisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan suku bangsa dominan (Orang Melayu ) yang ada di Jambi dan Sumatera Selatan.

Mayoritas suku kubu menganut kepercayaan animisme, tetapi ada juga beberapa puluh keluarga suku kubu yang pindah ke agama Islam

readmore »»